Barangsiapa yang bertambah ilmunya dan tidak bertambah hidayahnya, niscaya ia akan beertambah jauh dari Allah SWT.
Hadis tersebut diriwayatkan oleh oleh imam al-Dailamai dalam Musnad Firdaus dari sayyidina ‘Ali ra dengan redaksi Zuhdan (zuhud) sebagai ganti daripada lafadz Hudan dalam teks diatas, hadis tersebut menurut imam al-‘Iraqy memiliki kualitas dhaif atau lemah karena ada perawi yang bernama Musa ibn Ibrahim, menurut al-Daruquthni sebagaimana yang dinukil oleh imam al-Dzahabi bahwasannya Musa adalah rawi yang matruk. Hadis tersebut juga diriwayatkan secara mauquf oleh imam Ibnu Hibban dalam kitab Raudhah al-Uqala’ dari sayyidina al-Hasan ibn ‘Aly dengan redaksi “barang siapa yang bertambah ilmunya disertai dengan tambah cintanya terhadap Dunia, niscaya ia akan bertambah jauh dari Allah SWT”. Sedangkan imam Abu al-Fath al-Azdy dalam kitab al-Dhu’afa meriwayatkan hadis yang mirip dari sayyidina ‘Ali ra dengan redaksi “barang siapa yang bertambah ilmunya disertai dengan tambah cintanya terhadap Dunia, niscaya ia akan tambah dimurkai Allah SWT”. Meskipun hadis ini lemah dari segi kualitasnya, tetapi hadis ini masih bisa diterima menurut sebagian besar Ulama’ seperti imam Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali. Hal ini dikarenakan hadis ini tidak termasuk kategori aqidah maupuh syariah, dan tidak ada satupun ayat al-Qur’an maupun hadis shahih yang bertentangan dengan hadis diatas, bahkan hadis diatas menguatkan sejumlah makna ayat al-Qur’an dan hadis – hadis shahih yang mempunyai makna serupa.
Hadits ini menjelaskan tentang pentingnya ilmu yang diiringi dengan hidayah atau petunjuk dari Allah SWT. Karena ilmu yang tidak diiringi hidayah dapat menjadikan seseorang itu sesat dan semakin jauh dari Allah. Selain itu ilmu yang tanpa hidayah dapat membawa kesombongan bagi sipemilik ilmu.
Mencari ilmu itu mudah, tapi mendapatkan hidayah itulah yang sulit. Hidayah adalah ilmu yang terinternalisasi dalam diri seseorang. Untuk mencapai hidayah kita perlu mencari ilmu yang bersumber dari seorang ulama yang benar-benar bisa menunjukkan kita kepada hidayah Allah.
Untuk lebih mendalami makna dari hadis tersebut, perlu kita ulas makna hidayah yang dimaksud dalam teks hadis diatas. Kata Hidayah adalah dari bahasa Arab atau bahasa Al-Qur’an yang telah menjadi bahasa Indonesia. Akar katanya ialah : هدى – يهدي – هديا – هدى – هدية - هداية (hadaa, yahdii, hadyan, hudan, hidyatan, hidaayatan). Khusus yang terakhir, kata (هداية) kalau wakaf (berhenti) di baca : Hidayah, nyaris seperti ucapan bahasa Indonesia. Hidayah secara bahasa berarti petunjuk. Lawan katanya adalah : ضلالة (Dholalah) yang berarti “kesesatan”. Secara istilah (terminologi), Hidayah ialah penjelasan dan petunjuk jalan yang akan menyampaikan kepada tujuan sehingga meraih kemenangan di sisi Allah. Pengertian seperti ini dapat kita pahami melalui firman Allah surat Al-Baqarah berikut :
أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5(
“Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan Pencipta mereka, dan (sebab itu) merekalah orang-orang yang sukses.” (Q.S. Al-Baqarah: 5)
Para Ulama besar Islam telah menjelaskan dengan rinci dan mendalam perihal Hidayah/Hudan, khususnya yang diambil dari Al-Qur’an seperti yang ditulis oleh Al-Balkhi dalam bukunya “Al-Asybah wa An-Nazho-ir”, Yahya Ibnu Salam dalam bukunya “At-Tashoriif”, As-Suyuthi dalam bukunya “Al-Itqon” dan Ibnul Qoyyim Al-Jawzi dalam bukunya “Nuzhatu Al-A’yun An-Nawazhir”.
Hidayah/Hudan Dalam Al-Qur’an tercantum sekitar 171 ayat dan terdapat pula dalam 52 Hadits. Sedangkan pengertian Hidayah / Hudan dalam Al-Qur’an dan Hadits terdapat sekitar 27 makna. Di antaranya bermakna : penjelasan, agama Islam, Iman (keyakinan), seruan, pengetahuan, perintah, lurus/cerdas, rasul /kitab, Al-Qur’an, Taurat, taufiq/ketepatan, menegakkan argumentasi, Tauhid/ mengesakan Allah, Sunnah/Jalan, perbaikan, ilham/insting, kemampuan menilai, pengajaran, karunia, mendorong, mati dalam Islam, pahala, mengingatkan, benar dan kokoh/konsisten.
Dari paparan makna hidayah diatas, jelaslah sudah bahwasannya buah dari ilmu adalah petunjuk atau hidayah yang bisa mendekatkan seseorang kepada Allah SWT. Apabila seseorang mempunyai ilmu, tetapi ilmunya tidak mampu mendekatkan dirinya kepada Allah SWT, maka ilmu itu disebut sebagai ilmu yang tidak bermanfaat, ilmu tersebut justru akan menyebabkan ia menjadi sombong, merasa paling mulia, hatinya semakin gila harta, tahta dan wanita, sehingga ia pantas mendapatkan murkanya Allah SWT. Dari sini sungguh tepat apabila imam Ahmad ra mengatakan bahwasannya tanda ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang menjadikan pemiliknya mempunyai rasa “khashyah” atau takut yang disertai “ta’dhim” kepada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Fatir ayat 28:”sesungguhnya yang takut kepada Allah adalah para hambanya yang berilmu” . ibnu Mas’ud ra juga berkata: “cukuplah seseorang disebut Alim manakala ia mempunyai rasa takut kepada Allah SWT, dan cukuplah seseorang dikatakan tidak berilmu, manakala ia jauh dari Allah SWT”. Sebagian Ulama mengatakan bahwasannya barang siapa yang takut kepada Allah SWT, maka ia adalah orang yang Alim, dan barang siapa yang mendurhakai Allah SWT, maka ia adalah orang yang bodoh.
Yang perlu kita kaji adalah mengapa ilmu yang tidak disertai hidayah dikategorikan ilmu yang tidak bermanfaat dan justru akan menyengsarakan pemiliknya?. Alasannya adalah karena ilmu yang bermanfaat itu menunjukkan atau mengarahkan seseorang kepada dua hal, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Rajab dalam Fadhlu ‘Ilmi al-Salaf ‘Ala al-Khalaf, yang pertama adalah menunjukkan pemiliknya kepada ma’rifat Allah (mengenal Allah) baik sifat-sifatNya maupun asma-asmaNya. Dengan mengenal Allah SWT seseorang dengan sendirinya akan mengagungkanNya, mengharapkaNnya, mencintaiNya, bertawakkal kepadaNya, ridha terhadap ketentuan-ketentuanNya dan sabar atas segala ujian-ujianNya. Dan yang kedua yaitu menunjukkan pemilik ilmu tersebut kepada mengetahui segala hal yang disenangi dan diridhai maupun yang dibenci dan dilarang oleh Allah SWT, baik yang menyangkut ibadah lahiriyah maupun batiniyah. Dengan mengetahui dua hal diatas, seseorang dengan sendirinya akan bersegera untuk melakukan semua hal yang disenangi Allah SWT dan menjauhi segala yang dibenci Allah SWT. Jika seseorang berilmu telah mempunyai perasaan seperti ini dalam hati dan dibuktikan dengan perbuatan nyata, maka seseorang berhak dikatakan mempunyai ilmu yang bermanfaat.
Dari sedikit uraian tadi, nampaklah bahwasannya semakin tinggi ilmu dan ma’rifat seseorang , maka semakin tinggi pula rasa “khashyah” yang dimilikinya, ia semakin tawadhu’ atau rendah hati , tidak ada dalam dirinya sedikitpun rasa takabbur atau merasa paling mulia dari selain dirinya. Ilmu yang bermanfaat akan menjadikan pemiliknya selalu merasa dekat dan diawasi oleh Allah SWT, hatinya semakin jauh dari Dunia dan bertambah dekat dengan Akhirat.
Maka, untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan disertai hidayah, perlu adanya usaha, usaha pertama yang paling mendasar adalah niat yang ikhlas, karena Allah SWT tidak akan menerima amalan atau ibadah apapun yang tidak diiringi dengan ikhlas. Usaha kedua adalah dengan meningkatkan kualitas taqwa sekuat tenaga, karena Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 282: “bertakwalah kepada Allah dan Allah akan mengajarimu” . Usaha ketiga yaitu dengan mujahadah atau bersungguh-sungguh, karena tidak mungkin seseorang dapat meraih ilmu dan hidayah tanpa berusaha dengan sungguh-sungguh, sejarah tidak pernah mencatat orang yang malas sebagai orang yang berhasil, karena itu tidak ada dan tidak mungkin. Mengenai pentingnya mujahadah, Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an surat al-Ankabut ayat 69:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
69. Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
Usaha yang keempat yaitu menjaga adab –adab dalam memncari ilmu atau sedang muthala’ah sebagaimana yang dicontohkan oleh ulama’-ulama’ salaf, seperti imam Bukhari ra, beliau tidak menulis satu hadis kecuali mandi dan shalat dulu dua rakaat, imam Malik ra, beliau tidaklah membaca hadis Rasululullah SAW kecuali bersih dari hadats. Semua itu dilakukan untuk menjaga kemuliaan dan keaguangan posisi ilmu disisi Allah SWT, jikalau Allah SWT memberikan posisi yang tinggi terhadap ilmu, maka sudah sepantasnya kita juga mengagungkan ilmu dengan menjaga adab-adab yang berhubungan dengan ilmu.
Usaha yang kelima yaitu dengan memperbanyak membaca yang tadabbur al-Qur’an, karena salah satu tujuan al-Qur’an diturunkan untuk memberikan petunjuk kepada semua manusia. Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185
185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu.......
Usaha yang keenam yaitu dengan memperbanyak berdoa meminta ilmu yang bermanfaat dan juga hidayah dari Allah SWT, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadis shahih riwayat imam Muslim:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا
Ya Allah saya memohon kepadaMu hidayah, taqwa, iffah dan kaya. Ya Allah saya berlindung kepadaMu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’, nafsu yang tidak terpuaskan, dan doa yang tidak Engkau kabulkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar